Akulturasi Kebudayaan Hindu-Buddha di Nusantara
Wednesday, December 4, 2019
Wawasan Pendidikan; Akulturasi kebudayaan adalah suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan asing atau luar dengan kebudayaan setempat, sehingga membentuk kebudayaan baru. Meski begitu kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran tersebut tidak kehilangan ciri khasnya masing-masing. Untuk mencapai akulturasi budaya, maka masing-masing kebudayaan harus seimbang. (Baca Juga : Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia : Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Bali)
picture by whc.unesco.org |
Berikut ini adalah wujud akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan asli dari Indonesia:
1. Seni Bangunan
Masyarakat Indonesia sudah mengenal sistem teknologi pembuatan bangunan dari batu berupa punden berundak sebelum datangnya agama Hindu-Buddha. Setelah Hindu-Buddha masuk ke Indonesia, masyarakat mengadopsi teknologi seni bangunan dari India, yaitu berupa candi, stupa, dan makara yang memiliki unsur seni hias dan teknologi yang lebih beragam.
Jika bangunan candi di India berfungsi sebagai tempat pemujaan dewa, maka di Indonesia lebih difungsikan sebagai makam atau pendharmaan bagi raja yang telah wafat. Hal ini sangat sesuai dengan arti kata candi dalam bahasa Kawi “cinandi” yang artinya adalah “yang dikuburkan”.
Adapun yang dikuburkan di dalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai macam benda yang menjadi simbol jasmaniah raja, yang disebut dengan pripih. Hal ini erat kaitannya dengan kepercayaan asli masyarakat yang melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme).
Di India sendiri candi memiliki arca dewa yang dipuja sementara di Indonesia arca raja yang didharmakan dengan menggunakan pakaian kebesarannya. Perbedaan lainnya adalah candi di India berbentuk stupa sedangkan di Indonesia berbentuk seperti punden berundak dengan stupa di atasnya.
2. Seni Rupa dan Seni Ukir
Masuknya kebudayaan dan agama Hindu-Buddha juga berpengaruh terhadap seni rupa, khusunya adalah seni pahat atau seni ukir patung dan relief. Relief yang ada di Candi Borobudur menunjukkan unsur-unsur kebudayaan asli Indonesia.
Seperti suasana alam dan kehidupan masyarakat Indonesia yang terlihat dari adanya gambar rumah panggung dan relief burung merpati. Termasuk juga perahu bercadik yang merupakan perahu khas dari Indonesia. Sementara pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha terlihat pada relief di dinding pagar langkan yang menunjukkan riwayat Sang Buddha.
Demikian juga dengan ragam kala makara di Candi Prambanan yang menggambarkan motif berupa binatang dan tumbuhan yang tidak ditemukan di candi-candi yang berada di India. Sementara candi di Jawa Tengah terdapat relief berupa hiasan kalpataru, menyerupai pohon beringin yang diapit oleh binatang kinara dan kinari.
3. Seni Sastra dan Aksara
Prasasti yang ditemukan di Indonesia banyak yang menggunakan huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta. Seiring dengan berjalannya waktu, bahasa Sansekerta digantikan dengan Bahasa Melayu, meskipun masih banyak kata serapan dari Bahasa Sansekerta. Seperti tirta, pustaka, budi, adi, citra, karya, sastra, dll.
Sementara penggunaan huruf Pallawa berubah menjadi huruf Jawa Kuno (Kawi) yang dalam perkembangannya menurunkan huruf Hanacaraka yang digunakan dalam Bahasa Sunda, Jawa, dan Bali.
Kebudayaan India sendiri mempengaruhi perkembangan seni sastra di Indonesia. Berdasarkan isinya, kesusastraan dibagi menjadi 3, yaitu tutur atau kitab keagamaan, kitab hukum, dan kitab wiracarita atau kepahlawanan. Salah satu wiracarita dari India yang sangat terkenal dan mempengaruhi kebudayaan Indonesia adalah kisah Mahabarata yang ditulis oleh Wiyasa dan Ramayana yang ditulis oleh Walmiki.
Kedua kitab tersebut merupakan kitab epos dari umat Hindu namun setelah berkembang dan disadur oleh pujangga Indonesia memiliki versi cerita yang berbeda. Kisah cerita dalam sastra India mengandung nilai-nilai moralitas, seperti peperangan antara kebaikan dan kejahatan, pembelaan terhadap negara, dan pengabdian kepada orang tua.
Kesusastraan dari India memberikan warna baru dengan tokoh dan alur cerita yang lebih bervariasi. Sedangkan unsur dari Indonesia asli ditambahkan dengan tokoh Punakawan, yaitu Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Tokoh Punakawan ditampilkan sebagai penyeimbang yang memberikan nasihat kepada tokoh-tokoh dalam kesusastraan Hindu.
Beberapa karya sastra yang berkembang pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia antara lain adalah Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, Baratayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, Sutasoma karya Mpu Tantular, Negarakertagama karya Mpu Prapanca, dan Gathotkacasraya karya Mpu Panuluh.
4. Seni Pertunjukan
Sejak zaman pra aksara wayang sudah menjadi kebudayaan asli Indonesia, dan di masa Hindu-Buddha pertunjukan wayang semakin berkembang dengan kisah-kisah epos Ramayana dan Mahabarata. Unsur asli seperti Punakawan ditambahkan sehingga alur cerita semakin menarik dengan sentuhan humor di dalamnya.
5. Sistem Kepercayaan
Pengaruh kebudayaan Hindu-Buddha dalam sistem kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat Indonesia bisa dilihat dari fungsi candi yang berbeda dari India. Candi di India merupakan kuil untuk memuja dewa. Sedangkan di Indonesia candi lebih difungsikan sebagai tempat memuja roh nenek moyang yang ditunjukkan dengan adanya pripih di dalam candi.
Pripih merupakan tempat benda-benda lambang jasmaniah raja yang membangun candi tersebut disimpan. Candi dianggap sebagai makam tempat berdiamnya roh raja yang telah wafat. Biasanya di atas pripih terdapat arca dewa yang merupakan perwujudan dari raja yang didharmakan di dalam candi.
6. Sistem Pemerintahan
Meskipun budaya Hindu-Buddha juga mempengaruhi sistem pemerintahan dan kemasyarakatan namun ciri khas asli Indonesia tetap dilestarikan. Raja di Indonesia tidak memerintah secara mutlak. Kerajaan terdiri dari daerah-daerah yang diperintah oleh Rakyan atau Rakai dengan kekuasaan otonom namun tetap tunduk kepada raja di pusat pemerintahan.
Masuknya budaya Hindu-Buddha juga berpengaruh dalam sistem pemilihan pemimpin. Sebelumnya pemimpin dipilih karena memiliki kekuatan atau kemampuan tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain dan bukan karena keturunan. Namun setelah Hindu-Buddha masuk, pemilihan pemimpin cenderung berdasarkan keturunan.
Raja memperkuat kedudukannya dengan menyatakan bahwa dirinya merupakan jelmaan dewa atau keturunan dewa. Hal ini bisa terlihat dari penggunaan gelar bagi raja, birokrasi kerajaan, dan pembentukan dinasti.
Salah satu contoh bukti akulturasi budaya dalam sistem pemerintahan adalah seorang raja harus berwibawa dan memiliki kekuatan gaib sehingga rakyat percaya bahwa raja dekat dengan dewa sehingga ketika meninggal rohnya dipuja.
Seperti halnya Raja Airlangga yang didharmakan sebagai titisan Dewa Wisnu dan diabadikan sebagai Dewa Wisnu yang sedang mengendarai garuda. Sementara Raden Wijaya diabadikan dalam patung yang memperlihatkan bahwa dirinya sebagai harihara, yang merupakan perpaduan antara Dewa Wisnu dan Dewa Siwa.
7. Sistem Kalender
Kalender atau sistem penanggalan Hindu-Buddha juga mempengaruhi kebudayaan Indonesia, yaitu digunakannya sistem penanggalan Saka. Sistem penanggalan ini banyak ditemukan dalam prasasti-prasasti, seperti pada Prasasti Talang Tuo dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 606 Saka atau 684 Masehi.
Selain adanya pengetahuan tentang kalender Saka, terdapat juga perhitungan tahun Saka dengan Candrasangkala. Yaitu susunan kalimat atau gambar yang bisa dibaca sebagai angka. Candrasangkala banyak ditemukan dalam prasasti-prasasti di Pulau Jawa dengan kalimat berbahasa Jawa.
Salah satu contohnya adalah kalimat “Sirna Ilang Kertaning Bhumi” yang jika diartikan per kata bisa berupa sirna=0, ilang=0, kertaning=4, dan bhumi=1. Jika diartikan dalam bentuk angka dari belakang sama dengan tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi karena selisih penanggalan Saka dengan Masehi adalah 78 tahun. Tahun ini merupakan tahun keruntuhan Kerajaan Majapahit.
Penanggalan dengan sistem kalender Saka saat ini masih digunakan dalam kehidupan masyarakat Bali yang beragama Hindu. Biasanya penanggalan tersebut digunakan untuk menentukan penyelenggaraan upacara dan ritual keagamaan.
Referensi
Suparno, Drs. 2018. Modul Pendamping Sejarah Indonesia untuk SMK/SMA Kelas X Semester 1. Klaten Utara: Mulia Group.