Problematika Pemanfaatan Sumber Belajar
Tuesday, November 17, 2015
wawasanpendidikan.com; Sudah sering kita dengar bahwasanya sekolah sekolah bahkan perguruan tinggi selama ini sering mendapat sorotan dan kecaman yang tajam dan dicap sebagai tempat yang membosankan, tak relevan. Lembaga sekolah maupun perguruan tinggi dianggap angkuh, tak menghiraukan kemampuan siswa /mahasiswa saat belajar.
Banyak kritik ditimbulkan oleh strategi mengajar yang tidak serasi, yang tidak menggunakan alat atau sumber belajar secara kreatif. Sekolah atau perguruan tinggi terlampau dikuasai oleh metode ceramah, metode kuliah, metode memberitahukan dengan guru atau dosen sebagai sumber ilmu utama. Adakalanya kuliah dicampur sedikit dengan demonstrasi atau diskusi dan tanya jawab akan tetapi ada sejumlah strategi mengajar lainnya yang tersedia lebih melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar, strategi mengajar yang lebih relevan guna mencapai hasil belajar tingkat tinggi yang sangat jarang dimanfaatkan mengajar.
Demikian pula sumber sumber belajar dan mengajar yang sebenarnya sangat kaya, belum dengan serius diusahakan pengadaannya, sedangkan yang adapun seringkali belum dimanfaatkan sepenuhnya. Sehingga proses belajar mengajar kurang menarik. Beberapa masalah atau kendala yang muncul dalam usaha memanfaatkan sumber belajar telah dijelaskan beberapa pakar pendidikan, antara lain, Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi yang menyoroti tentang permasalahan pada guru yang sampai sekarang masih memiliki pandangan yang sempit mengenai sumber belajar. Keduanya berpendapat, bahwa permasalahan hingga dewasa ini di dalam dunia pengajaran praktis masih berpandangan, sumber belajar (learning resources) adalah guru dan bahan bahan pelajaran/bahan pengajaran baik buku-buku bacaan atau semacamnya. Lanjutnya, dalam desain pengajaran yang biasa disusun guru terdapat salah satu komponen pengajaran yang dirancang berupa sumber belajar /pengajaran yang umumnya diisi dengan buku-buku rujukan (buku bacaan wajib/anjuran). Padahal, pengertian sumber belajar sesungguhnya tidak sesempit /sesederhana itu. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Nana Sudjana dan Ahmad Rohani yang mengatakan bahwa sebagian besar guru masih berpandangan secara sempit mengenai sumber belajar yang menurut mereka sumber belajar hanya diartikan berupa buku-buku atau bahan-bahan tercetak lainnya.
Sedangkan, Syaiful Bahri Djamarah menyatakan mengenai anjuran dalam menggunakan media dalam pengajaran yang sampai sekarang terkadang sukar dilakukan, hal ini disebabkan dana yang terbatas untuk membelinya. Menyadari akan hal itu, disarankan kembali agar tidak memaksakan diri untuk membelinya, tetapi cukup membuat media pendidikan yang sederhana selama menunjang tercapainya tujuan pengajaran.
Permasalahan lain yang muncul telah diungkapkan oleh Mahfudh Shalahuddin yang menyatakan, bahwa di dunia pendidikan sekarang ini ada suatu pendapat bahwa guru adalah penguasa tunggal di dalam kelas. Dan kecenderungan itu tambah terasa bilamana selain guru kelas tidak ada sumber belajar yang dapat dipergunakan oleh murid murid. Padahal berbagai usaha telah dilakukan untuk menyediakan sumber belajar yang bervariasi di dalam kelas, diantaranya berupa buku teks, buku bacaan, peta, dan alat alat pelajaran lain. Tetapi kenyataan masih banyak menunjukan adanya sarana itu sebagai hiasan dan belum merupakan bagian yang integral dalam proses belajar mengajar.
Nasution dalam bukunya Teknologi Pendidikan menyatakan bahwa walaupun tiap guru menggunakan buku dan papan tulis, akan tetapi bila ia menghadapi alat pengajaran elektronik seperti tipe, TV, VCD maupun yang lain guru masih enggan menggunakannya karena merasa tidak mempunyai ketrampilan tekhnik untuk mengendalikannya /
mengoperasikannya.
Selain aneka problem di atas, Syaiful Bahri Djamarah juga menambahkan masalah lain yaitu tentang permasalahan kompetensi/kemampuan guru yang juga patut dijadikan perhitungkan artinya apakah guru tersebut sudah mampu atau tidak mempergunakan media sumber belajar tersebut. Jika tidak, maka jangan mempergunakanya, sebab hal itu akan sia-sia. Malahan bisa mengacaukan jalannya proses belajar mengajar.
Masalah lain diungkap oleh Yusuf Hadi Miarso, ia mengatakan bahwa adanya anggapan dengan menggunakan media pendidikan guru tidak perlu membuat persiapan mengajar terlebih dahulu. Padahal justru sebaliknya bahwa guru dituntut untuk melakukan persiapan dengan cermat dengan mempelajari bahan dalam media itu sendiri semisal buku, dengan mempersiapkan bahan tambahan, pengayaan atau penjelasan dan lain-lain.
Selain itu, banyak kalangan yang berpendapat bahwa menggunakan papan tulis adalah cara yang mudah, cukup dengan meniru guru-guru yang mengajar dan tak usah dipelajari. Padahal anggapan itu salah dan tidak bisa diterima. Kecakapan menggunakan papan tulis perlu dipelajari secara khusus dan hendaknya menjadi program pendidikan pada sekolah sekolah guru. Agar mereka mengauasai tekhniknya dengan baik.
Beberapa permasalahan yang dikemukakan oleh pakar pendidikan di atas, hendaknya menjadi pemikiran bersama yang kemudian dicarikan solusinya, agar problem tersebut tidak berlarut larut yang nantinya dikhawatirkan dapat menambah parah daftar buruk di dunia pendidikan bangsa ini. Di sisi lain, selama ini terdapat beberapa bukti bahwa untuk melakukan proses pembelajaran secara efektif cukup sulit karena dalam belajar terdapat suatu proses yang sangat kompleks. Seorang pendidik diharuskan menghadapi beragam siswa dengan beragam karakter pula. Sehingga dipastikan akan menemui berbagai hambatan .
Yusuf Hadi Miarso, mengemukakan berbagai hambatan komunikasi yang sering timbul, diantaranya:
a. Verbalisme ketergantungan pada penggunaan kata kata lisan untuk memberikan penjelasan.
1) Seeing is beleiving (melihat menimbulkan kepercayaan)
2) A picture worth a thousand words (satu gambar senilai dengan seribu kata)
b. Kekacauan penafsiran
1) Istilah yang dapat ditafsirkan berbeda
2) Penggunaan istilah tertentu secara salah namun berlaku secara umum
3) Perbedaan pengalaman yang dipakai dasar penafsiran
c. Perhatian yang bercabang
1) Tidak dapat memusatkan perhatian
2) Ingatan yang terpaku pada hal-hal yang menarik perhatian sebelumnya
3) Melamun dan mengkhayal
d. Tidak ada tanggapan
1) Tidak membulatkan pengalaman penginderaan (apa yang didengar, dilihat, diraba dan lain lain terhadap sesuatu obyek dialami secara terpisah)
2) Proses pikiran (dimulai dari kesadaran hingga timbulnya konsep) tidak berlangsung
3) Tidak terbentuknya sikap yang diperlukan
e. Kurang perhatian
1) Kurangnya variasi dan prosedur pengajaran
2) Sumber informasi tunggal yang membosankan
3) Kurangnya supervisi dan bimbingan karena guru sibuk dalam prestasi.
f. Keadaan lingkungan fisik yang mengganggu
1) Pengaturan tempat duduk yang kaku
2) Keterbatasan fisik dalam kelas dapat diatasi dengan bantuan media pendidikan yaitu dalam hal:
- Obyek yang terlalu besar digantikan dengan realita, gambar, film bingkai (slide), film atau model
- Obyek yang kecil dibantu dengan microprojector, film bingkai (slide), film atau gambar
- Gerak yang terlalu lambat atau cepat, dapat dibantu dengan time-lapse atau high-speed photography
- Obyek yang terlalu kompleks(misalnya mesin mesin) dapat disajikan dengan model, diagram dan lain lain.
- Konsep yang terlalu luas seperti gunung berapi, gempa bumi, iklim dan lain lain) dapat divisualkan dalam bentuk film, film bingkai(slide) gambar dan lain lain.
Dengan sifat yang unik pada setiap anak didik ditambah dengan lingkungan dan pengalaman yang berbeda, sedangkan kurikulum dan materi pendidikan ditentukan sama untuk setiap anak maka, guru akan banyak mengalami kesulitan bilamana semua itu harus dihadapi sendiri., apalagi bila latar belakang guru dan anak berbeda. Maka, begitu penting bagi seorang guru untuk mengetahui berbagai ragam karakter pada anak didik.
Sumber:
Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi. (1991). Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Syaiful Bahri Djamarah. (2000). Guru Dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta
Mahfudh Shalahuddin, op. cit., hlm. 65.
Nasution. (1989). Teknologi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara
Yusuf Hadi Miarso dkk. (1986) Teknologi Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Rajawali
Oemar Hamalik. (1994). Media Pendidikan. Bandung: Citra Aditya Bakti