Pengertian Pendidikan Keluarga
Wednesday, October 22, 2014
Pengertian Pendidikan Keluarga
Wawasan Pendidikan. Istilah keluarga dan
pendidikan adalah dua istilah yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, di mana ada
keluarga di situ ada pendidikan. Di mana ada orang tua di situ ada anak yang
merupakan suatu kemestian dalam keluarga. Ketika ada orang tua yang ingin
mendidik anaknya, maka pada waktu yang sama ada anak yang menghajatkan
pendidikan dari orang tua. Dari sini muncullah istilah “pendidikan keluarga”.
Artinya, pendidikan yang berlangsung dalam keluarga yang dilaksanakan oleh
orang tua sebagai tugas dan tanggung jawabnya dalam mendidik anak dalam
keluarga.
Dengan demikian,
pendidikan keluarga adalah usaha sadar yang dilakukan orang tua, karena mereka
pada umumnya merasa terpanggil (secara naluriah) untuk membimbing dan
mengarahkan, pengendali dan pembimbing (direction control and guidance,
konservatif (mewariskan dan mempertahankan cita-citanya), dan progressive
(membekali dan mengembangkan pengetahuan nilai dan ketrampilan bagi putra-putri
mereka sehingga mampu menghadapi tantangan hidup di masa datang.
Selain itu, keluarga
juga diharapkan dapat mencetak anak agar mempunyai kepribadian yang nantinya
dapat dikembangkan dalam lembaga-lembaga berikutnya, sehingga wewenang
lembaga-lembaga tersebut tidak diperkenankan mengubah apa yang telah
dimilikinya, tetapi cukup dengan mengkombinasikan antara pendidikan keluarga
dengan pendidikan lembaga tersebut, sehingga masjid, pondok pesantren, dan
sekolah merupakan tempat peralihan dari pendidikan keluarga.
Namun demikian, orang
tua perlu bekerja sama dengan pusat pendidikan tempat mengamanatkan pendidikan
anaknya, seperti belajar di madrasah dan pesantren. Tujuannya adalah tetap
memantau setiap perkembangan pendidikan anak dan tidak melepaskan
tanggungjawab. Hal itu merupakan bentuk tanggung jawab orang tua terhadap
pendidikan anaknya apabila ia sendiri merasa tidak mampu untuk memberikan
pendidikan yang dibutuhkan anaknya.
Pada posisi ini fungsi
dan peran madrasah, pesantren, di pusat pendidikan lainnya hanya membantu
kelanjutan pendidikan yang telah dimulai dalam keluarga. Artinya, bahwa
tanggung jawab pendidikan anak pada akhirnya kembali kepada orang tua juga.
Hal itu dikarenakan
orang tua adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Bagi anak, orang
tua adalah model yang harus ditiru dan diteladani. Sebagai model, orang tua
seharusnya memberikan contoh yang terbaik bagi anak dalam keluarga. Sikap dan
perilaku orang tua harus mencerminkan akhlak yang mulia. Oleh karena itu, Islam
mengajarkan kepada orang tua agar selalu mengajarkan sesuatu yang baik-baik
saja kepada anak mereka.
Pembentukan budi
pekerti yang baik adalah tujuan utama dalam pendidikan Islam. Karena dengan
budi pekerti itulah tercermin pribadi yang mulia. Sedangkan pribadi yang mulia
itu adalah pribadi yang utama yang ingin dicapai dalam mendidik anak dalam
keluarga. Namun sayangnya, tidak semua orang tua dapat melakukannya. Banyak
faktor yang menjadi penyebabnya, misalnya orang tua yang sibuk dan bekerja
keras siang malam dalam hidupnya untuk memenuhi kebutuhan materi anakanaknya, waktunya
dihabiskan di luar rumah, jauh dari keluarga, tidak sempat mengawasi
perkembangan anaknya, dan bahkan tidak punya waktu untuk memberikan bimbingan,
sehingga pendidikan akhlak bagi anak-anaknya terabaikan.
Dalam kasuistik
tertentu sering ditemukan sikap dan perilaku orang tua yang keliru dalam
memperlakukan anak. Misalnya, orang tua membiarkan anak-anaknya nongkrong di
jalan dan begadang hingga larut malam. Mereka menghabiskan waktunya hanya untuk
bermain atau guyon, mengejek satu sama lain, dan saling berlomba melempar
kata-kata kotor. Padahal semestinya waktu-waktu tersebut bisa dimanfaatkan oleh
orang tua untuk mendidik anak-anaknya untuk mengaji Al-Qur’an di rumah. Meski
orang tua memiliki kemampuan yang kurang baik dalam membaca Al-Qur’an, tetapi
upaya orang tua itu dapat mempersempit ruang gerak anak untuk hal-hal yang
kurang baik dalam pandangan agama.
Dalam keluarga yang
broken home sering ditemukan seorang anak yang kehilangan keteladanan. Orang
tua yang diharapkan oleh anaknya sebagai teladan, ternyata belum mampu
memperlihatkan sikap dan perilaku yang baik. Akhirnya anak kecewa terhadap
orang tuanya. Anak merasa resah dan gelisah. Mereka tidak betah tinggal di
rumah. Keteduhan dan ketenangan merupakan hal yang langka bagi anak. Hilangnya
keteladanan dari orang tua yang dirasakan anak memberikan peluang bagi anak
untuk mencari figur yang lain sebagai tumpuan harapan untuk berbagi perasaan
dalam duka dan lara.
Di luar rumah, anak mencari teman yang dianggapnya dapat
memahami dirinya; perasaan dan keinginannya. Kegoncangan jiwa anak ini tidak
jarang dimanfaatkan oleh anak-anak nakal untuk menyeretnya ke dalam sikap dan
perilaku jahiliyah. Sebagian besar kelompok mereka tidak hanya sering
mengganggu ketenangan orang lain seperti melakukan pencurian atau perkelahian,
tetapi juga tidak sedikit yang terlibat dalam penggunaan obat-obat terlarang atau
narkoba. Pergi ke tempat-tempat hiburan merupakan kebiasaan mereka. Menggoda
wanita muda atau pergi ke tempat prostitusi adalah hal yang biasa dalam
pandangan mereka.
Sikap dan perilaku anak
yang asosial dan amoral seperti di atas tidak bisa dialamatkan kepada keluarga
miskin, bisa saja datang dari keluarga kaya. Di kotakota besar misalnya, sikap
dan perilaku anak yang asosial dan amoral justru datang dari keluarga kaya yang
memiliki kerawanan hubungan dalam keluarga. Ayah, ibu dan anak sangat jarang
bertemu dalam rumah. Ayah atau ibu sibuk dengan tugas mereka masing-masing,
tidak mau tahu kehidupan anak. Kesunyian rumah memberikan peluang bagi anak
untuk pergi mencari tempat-tempat lain atau apa saja yang dapat memberikan
keteduhan dan ketenangan dalam kegalauan batin. Akhirnya, apa pun alasannya,
mendidik anak adalah tanggung jawab orang tua dalam keluarga. Oleh karena itu,
sesibuk apa pun pekerjaan yang harus diselesaikan, meluangkan waktu demi
pendidikan anak adalah lebih baik. Bukankah orang tua yang bijaksana adalah
orang tua yang lebih mendahulukan pendidikan anak daripada mengurusi pekerjaan
siang dan malam.
Sumber: UIN Walisongo: Faisal Nurhidayat