Makalah Konsep Integrasi Ilmu Umum dan Ilmu Agama
Tuesday, October 28, 2014
Makalah Konsep Integrasi Ilmu Umum dan Ilmu Agama
wawasanpendidikan.com,- Seiring dengan berakhirnya abad ke-20, negara di kawasan Asia, terutama Indonesia dilanda krisis ekonomi yang cukup berat, bahkan di Indonesia kemudian meluas menjadi krisis politik, pendidikan, sosial dan budaya. Memasuki milinium ke tiga, negara kita juga mengalami suatu proses transisi menuju ke arah terbentuknya masyarakat madani yang lebih demokratis yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia. Penerapan nilai-nilai universal yang diakui oleh masyarakat global merupakan salah satu prasyarat untuk dapat bersaing dalam masyarakat dunia yang semakin hari terasa semakin sempit.
Kondisi seperti itu lebih disemrawutkan dengan terpuruknya bidang wacana keilmuan yang terjadi di negara kita. Di saat ilmu diharapkan mampu menjawab semua tantangan perkembangan zaman, yang terjadi malah dikotomisasi ilmu. Adalah suatu ketimpangan ketika ilmu agama disendirikan dan dipisahkan dari ilmu umum yang pada kenyataannya mempunyai keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan karena eksistensinya yang saling komplementif. Hal ini berangkat dari motif sebuah asumsi bahwa kajian agama dinilai tidak ilmiah oleh saintis dan agama sendiri sering memandang ilmu sebagai kebenaran yang tidak harus diikuti karena tidak berasal dari langit.[1]
Dalam rangka mempertemukan dua hal yang sejatinya satu itu, penyusun tertarik dengan usaha yang dikembangkan oleh universitas-universitas islam yang mulai mencoba inklusif, yaitu dengan menerapkan metode integrasi dan interkoneksi dalam pembelajarannya.
Dari proses ini diharapkan akan menjadi solusi dari berbagai krisis yang diakibatkan oleh ketidakpedulian suatu ilmu terhadap ilmu yang lain yang selama ini terjadi baik dalam kalangan pendidikan Islam maupun pendidikan pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
Agar tercapainya fokus pembahasan untuk mempermudah ruang lingkup pengkajian, maka penyusun membatasi makalah ini pada objek-objek pembahasan tertentu, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan integasi ilmu?
2. Seperti Apakah konsep integrasi Ilmu Umum dan Ilmu Agama itu?
3. Di manakah konsep integrasi ilmu itu diimplementasikan?
4. Bagaimanakah Contoh integrasi ilmu umum dengan agama?
PEMBAHASAN
1. Apakah yang dimaksud dengan integrasi ilmu?
Secara etimologis, integrasi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris –integrate; integration- yang kemudian diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi integrasi yang berarti menyatu-padukan; penggabungan[2] atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh; pemaduan.[3]
Adapun secara terminologis, integrasi ilmu adalah pemaduan antara ilmu-ilmu yang terpisah menjadi satu kepaduan ilmu, dalam hal ini penyatuan antara ilmu-ilmu yang bercorak agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum.
Integrasi ilmu agama dan ilmu umum ini adalah upaya untuk meleburkan polarisme antara agama dan ilmu yang diakibatkan pola pikir pengkutupan antara agama sebagai sumber kebenaran yang independen dan ilmu sebagai sumber kebenaran yang independen pula. Hal ini karena –sebagaimana dijelaskan diawal pendahuluan- keberadaannya yang saling membutuhkan dan melengkapi. Seperti yang dirasakan oleh negara-negara di belahan dunia sebelah Barat yang terkenal canggih dan maju di bidang keilmuan dan teknologi, mereka tergugah dan mulai menyadari akan perlunya peninjauan ulang mengenai dikotomisme ilmu yang terlepas dari nilai-nilai yang di awal telah mereka kembangkan, terlebih nilai religi. Agama sangat bijak dalam menata pergaulan dengan alam yang merupakan ekosistem tempat tinggal manusia.
Meninjau begitu urgennya kapasitas agama dalam kehidupan manusia, maka sepatutnya agama dikembangkan sebagai basic nilai pengembangan ilmu. Karena perkembangan ilmu yang tanpa dibarengi dengan kemajuan nilai religinya, menyebabkan terjadinya gap, jurang. Akibat meninggalkan agama, ilmu secara arogan mengeksploitasi alam sehingga terjadi berbagai kerusakan ekosistem.[4]
Ketika manusia secara berangsur-angsur dapat mengenal sifat dan perilaku alam, dan selanjutnya dapat mengendalikan, mengolah dan memanfaatkannya dengan ilmu dan akal mereka; maka sifat dan perilaku alam yang tadinya sangat ditakuti mereka secara berangsur-angsur tidak lagi menakutkan. Konsep ketuhanan merekapun bergeser. Ada yang mengatakan bahwa agama tidak lebih dari objek pelarian manusia yang gagal menghadapi serta mengatasi problema kehidupannya; atau merupakan hasil tahap perkembangan yang paling terbelakang dari suatu masyarakat; atau sekedar obsesi manusia tatkala mereka masih berusia kanak-kanak. Mengapa demikian? Sebab, sebagai contoh, dengan kemjauan sains dan teknologi dapat diketahui bahwa gempa terjadi karena adanya pergeseran atau patahan kulit bumi, bukan karena Allah murka, sehingga manusia tidak perlu takut lagi.
Di samping itu, meninjau ke ranah psikis batiniyah, sebagai misal, orang Barat yang terdepan dalam keilmuan dan sebagai kiblat kemajuan teknologi, sebagian mereka hidup –jika ditinjau dari kacamata islam- tidak sejahtera, tidak tentram dan tidak tenang. Kehidupan mereka kelihatan semrawut, bebas tanpa aturan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sentuhan-sentuhan nilai-nilai religi karena ilmunya-pun telah terdikotomikan dari ilmu agama.
2. Seperti Apakah konsep integrasi Ilmu Umum dan Ilmu Agama itu?
Dalam halnya menggabungkan antara ilmu umum dan ilmu agama, maka integrasi ilmu ini dekat dengan islamisasi ilmu. keduanya merupakan upaya mendamaikan polarisasi antara sains modern yang didominasi dan dikuasai Barat dengan wacana keislaman yang masih berada pada titik inferioritas peradaban global. Kritik epistemologis, dalam asumsi penyusun, adalah berangkat dari proses “obyektivikasi Islam” yang pernah digagas oleh Pak Kuntowijoyo. Upaya obyektivikasi Islam merupakan proses dinamisasi agama yang diarahkan menuju pada ilmu yang kemudian terjadi dialektika antara agama dengan sains modern.
Kemunculan ide “penyatuan ilmu islam dan ilmu umum” dan atau “pengislaman ilmu umum” tidak lepas dari ketimpangan-ketimpangan yang merupakan akibat langsung keterpisahan antara sains dan agama. Sekularisme telah membuat sains sangat jauh dari kemungkinan untuk didekati melalui kajian agama.
Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Seperangkat aturan-aturan, nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut syari’at. Kitab suci al-Qur’an merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta grand teori ilmu.
Tidak dipungkiri, agama memang mengklaim dirinya sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan. Walaupun dalam posisinya seperti itu, agama tidak pernah menset-upkan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Oleh karena itu, dalam perspektif ini, sumber pengetahuan terdiri dari dua macam, yakni pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris.[5]
Agama menyediakan menyediakan tolok ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah; benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (baik, buruk), tujuan –tujuan ilmu (tahsiniyyah; manfaat, merugikan). Dimensi aksiologi dalam ilmu ini penting untuk digarisbawahi, sebelum manusia keluar mengembangkan ilmu. Selain ontologi (whatness) keilmuan, epistemologi keilmuan (howness), agama sangat menekankan dimensi aksiologi keilmuan (whyness).
Dalam halnya sebagai paradigma keilmuan yang menyatu-padukan antara ilmu umum dan ilmu agama, bukan sekedar menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-integralistik), itu tidak akan berakibat mengkerdilkan kapasitas Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia sehingga teraleniasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar dan lingkungan hidup sekitarnya. Diharapkan konsep integralisme keilmuan akan dapat menyelesaikan konflik antar sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-agama yang rigid dan radikal dalam banyak hal.
3. Di manakah konsep integrasi ilmu itu diimplementasikan?
Konsep integrasi ilmu diimplementasikan dalam berbagai level, yaitu:
A. Level Filosofis
Integritas dan interkoneksitas pada level filosofis dalam wacana keilmuan bahwa di dalamnya harus diberikan nilai fundamental eksistensial dalam kaitannya dengan disiplin keilmuan lain dan dalam hubungannya dengan nilai-nilai humanistik. Ilmu fiqh misalnya, di samping makna fundamentalnya sebagai filosofi membangun hubungan antara manusia, alam dan Tuhan dalam ajaran Islam, dalam pengkajian fiqh harus disinggung pula bahwa eksistensi fiqh tidaklah berdiri sendiri atau bersifat self-sufficient, melainkan berkembang bersama sikap akomodatifnya terhadap dislipin keilmuan lainnya seperti filsafat, sosiologi, psikologi dan lain sebagainya.
Demikian juga dalam hal pengkajian ilmu umum seperti sosiologi. Sosiologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji interaksi sosial antar manusia akan menjadi terberdayakan dengan baik apabila pengajar sosiologi –sebagai salah satu unsur dari proses transferisasi ilmu- juga mengajak peserta didik untuk mereview teori-teori interaksi sosial yang sudah ada dalam tradisi budaya dan agama. Interkoneksitas seperti ini akan saling memberdayakan antara sosiologi di satu pihak dan tradisi budaya atau keagamaan di pihak lain.
Pada level filosofis dengan demikian lebih merupakan suatu penyadaran eksistensial suatu disiplin ilmu selalu bergantung pada disiplin ilmu lainnya termasuk di dalamnya agama dan budaya.
B. Level Materi
Implementasi integrasi dan interkoneksi pada level materi bisa dilakukan dengan tiga model pengejawantahan interkoneksitas keilmuan antar disiplin keilmuan.
Pertama, model pengintegrasian ke dalam paket kurikulum, karena hal ini terkait dengan lembaga penyelenggara pendidikan.
Kedua, model penamaan disiplin ilmu yang menunjukkan hubungan antara disiplin ilmu umum dan keislaman. Model ini menuntut setiap nama disiplin ilmu mencantumkan kata Islam, seperti ekonomi Islam, politik Islam, sosiologi Islam, antropologi Islam, sastra Islam, pendidikan Islam, filsafat Islam dan lain sebagainya sebagai refleksi dari suatu integrasi keilmuan yang dilakukan.
Ketiga, model pengintegrasian ke dalam pengajaran disiplin ilmu. Model ini menuntut dalam setiap pengajaran disiplin ilmu keislaman dan keagamaan harus diinjeksikan teori-teori keilmuan umum terkait sebagai wujud interkoneksitas antara keduanya, dan begitupun sebaliknya.
C. Level Metodologi
Dalam konteks struktur keilmuan Lembaga pendidikan yang bersifat integratif-interkonektif menyentuh pula level metodologis. Ketika sebuah disiplin ilmu diintegrasikan atau diinterkoneksikan dengan disiplin ilmu lain, misalnya psikologi dengan nilai-nilai Islam, maka secara metodologis ilmu interkonektif tersebut harus menggunakan pendekatan dan metode yang aman bagi ilmu tersebut. Sebagai contoh pendekatan fenomenologis yang memberi apresiasi empatik dari orang yang mengalami pengalaman, dianggap lebih aman ketimbang pendekatan lain yang mengandung bias anti agama seperti psikoanalisis.
Dari segi metode penelitian tampaknya tidak menjadi masalah karena ketika suatu penelitian dilakukan secara obyektif baik dengan menggunakan metode kuesioner, wawancara atau yang lainnya, maka hasilnya kebenaran objektif. Kebenaran seperti ini justru akan mendukung kebenaran agama itu sendiri.
D. Level Strategi
Yang dimaksud level strategi di sini adalah level pelaksanaan atau praksis dari proses pembelajaran keilmuan integratif-interkonektif. Dalam konteks ini, setidaknya kualitas keilmuan serta keterampilan pengajar menjadi kunci keberhasilan pembelajaran berbasis paradigma interkoneksitas. Di samping kualitas-kualitas ini, pengajar harus difasilitasi dengan baik menyangkut pengadaan sumber bacaan yang harus beragam serta bahan-bahan pengajaran (teaching resources) di kelas. Demikian pula pembelajaran dengan model pembelajaran active learning dengan berbagai strategi dan metodenya menjadi keharusan.
4. Sebuah Contoh integrasi ilmu umum dengan agama; Konsep Psikologi Islam
Ada dua pendapat yang ditawarkan oleh para ahli mengenai metodologi Psikologi Islam. Pertama, Psikologi Islam harus menggunakan metode ilmu pengetahuan modern, yaitu metode ilmiah, Sebab hanya metode ilmiah yang mampu mencapai pengetahuan yang benar. Menurut pendapat ini, tak ada sains tanpa metode, bahkan sains itu sendiri adalah metode. Kedua, Psikologi Islam adalah sains yang mempunyai persyaratan ketat sebagai sains. Mengingat ciri subjeknya yang sangat kompleks, maka Psikologi Islam harus menggunakan metode yang beragam dan tidak terpaku pada metode ilmiah saja.[6]
Ketika kita membicarakan Metodologi Psikologi Islam, ada dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, masalah yang bersifat konseptual, Kedua, masalah yang bersifat operasional. Masalah konseptual meliputi aksiologi, epistemologi dan ontologi. Sedang masalah yang bersifat operasional adalah metode dalam Psikologi Islam itu sendiri.
Dalam konteks Islam, aksiologi merupakan weltanschaung (pandangan hidup) yang berfungsi sebagai landasan di dalam mengkonstruksi fakta. Dalam pandangan Islam, ilmu dan sistem nilai tidak dapat dipisahkan, keduamya saling berhubungan erat, karena ilmu merupakan fungsionalisasi ajaran wahyu. Secara aksiologi Psikologi Islam bersumber dari al-Quran yang berbunyi:
“... (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (QS. Ibrahim/14:1).[7]
Dengan ayat di atas, maka nampaklah bahwa Islam meletakkan wahyu sebagai paradigma agama yang mengakui eksistensi Allah, baik dalam keyakinan, maupun aplikasinya dalam konstruksi ilmu pengetahuan. Islam menolak sains untuk sains (science for science), namun menghendaki terlibatnya moralitas di dalam mencari kebenaran ilmu. Secara aksiologi Psikologi Islam dibangun dengan tujuan akhir untuk menghasilkan kesejahteraan bagi seluruh umat (rahmat li al-‘alamin).
Secara epistemologi, metodologi Psikologi Islam merupakan jalan untuk mencari kebenaran perihal substansi yang ingin diungkapkan, epistemologi membicarakan apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahuinya. Dalam masalah ini, pemaknaan aksiologik sangat berperan di dalam menentukan kebenaran epistemologik.[8] Dengan demikian, dasar epistemologinya adalah hubungan (nisbah) akal dan intuisi.
Perlu diingat bahwa Psikologi Islam adalah ilmu yang terintegrasi dengan pola pendekatan disiplin ilmu keislaman lainnya, ia memiliki kekhasan tersendiri secara paradigma maupun epistemologinya. Ketidaksamaannya dengan metodologi ilmiah secara umum tidaklah mengurangi keilmiahannya bila kita mengkritisinya dengan berpedoman kepada paradigma dan epistemologi sendiri.
Adapun ontologi berfungsi menetapkan substansi yang ingin dicapai yaitu memahami manusia sesuai dengan sunnatullahnya. Mengingat al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang paling dapat diandalkan, maka ayat-ayat yang membicarakan terma-terma seperti insan, basyar, nafs, aql, ruh, qalb dapat dijadikan rujukan. Dengan patokan, sejauh mana metodologi itu dapat mengejar makna dan esensi, bukan hanya gejala.
Psikologi Islam bagian dari Tasawuf Islam, oleh karena itu metodologi tasawuf dapat pula dijadikan patokan untuk menentukan Metodologi Psikologi Islam. Sebagai contoh metodologi secara konseptual pada tasawuf al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. Secara aksiologi, tasawuf al-Ghazali bersumber dari wahyu, dasar epistemologinya adalah nisbah akal dan intuisi, dan dasar ontologinya adalah terma-terma seperti al-aql, al-nur dan etika atau moral.[9]
PENUTUP
A. Kesimpulan
Integrasi berasal dari bahasa Inggris –integrate; integration- yang berarti menyatu-padukan; penggabungan atau penyatuan menjadi satu kesatuan yang utuh; pemaduan.
Integrasi ilmu agama dan ilmu umum ini adalah upaya untuk meleburkan polarisme antara agama dan ilmu yang diakibatkan pola pikir pengkutupan antara agama sebagai sumber kebenaran yang independen dan ilmu sebagai sumber kebenaran yang independen pula.
Konsep integrasi ilmu diimplementasikan dalam berbagai level, yaitu:
a. Level Filosof
b. Level Materi
c. Level Metodologi
d. Level Strategi
B. Saran
Akhirnya, berangkat dari ketidaksempurnaan, yakni segala sesuatu tiada yang sempurna kecuali dzat-Nya, maka terlebih makalah ini. Makalah yang disusun oleh sesuatu yang tidak sempurna ini, tentu tidak wajar apabila tidak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf atas segala keterbatasan. Di samping itu, kami pun mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari rekan pembaca guna meningkatkan kualitas penyusunan makalah kami di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Tholib, Muhammad. 2007. Melacak Kekafiran Berfikir. Yogyakarta: Uswah.
Abdullah, Amin. 2006. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
A.Partanto, Pius dan al Barry, M. Dahlan. 1994.Kamus Ilmiah Populer. Yogyakarta: Arkola.
M. Echols, John dan shadily, Hassan. 2003. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dkk Abrar, Indal. 2007. Mengukir Prestasi di Jalur Khusus. Yogyakarta: Pendi Pontren DEPAG RI.
Syukur, M. Amin Abdullah dan Masyharuddin. Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2002.
Bastaman, Hanna Djumhana. Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar. 1996.
Nawawi, Rif’at Syauqi et. al. Metodologi Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000.
[1] Baca Alim Ruswantoro, “Paradigma Keilmuan UIN Yogyakarta” dalam M. Yusuf dan Mustofa (ed.), Mengukir Prestasi di Jalur Khusus, (Yogyakarta: Penerbit Pendi Pontren Depag RI, 2007), hlm. 39.
[2] Lihat John M. Echlos dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 326.
[3] Lihat juga Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm.264.
[4] Alim Roswantoro dalam Mengukir Prestasi di Jalur Khusus, (Yogyakarta: Penerbit Pendi Pontren Depag RI, 2007), hlm. 40.
[5] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar’ 2006), hlm. 102.
[6] Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam: Menuju Psikologi Islami, (Yogyakarta:Yayasan Insan Kamil dan Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 9. Adapun salah satu persyaratan sains adalah memiliki cara yang lazim disebut metode yang berfungsi untuk menemukan rahasia sunnatullah yang bekerja dalam dirinya, sekaligus berfungsi untuk mengukuhkan objektivitasnya.
[7] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: PT. Wihani Corporation, 1990/1991), hlm. 279.
[8] Rif’at Syauqi Nawawi, Metodologi Psikologi Islam,( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 106-107.
[9] M. Amin Abdullah Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 170-209.
Sumber: Perpustakan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta