Pengertian Ruang Lingkup Ilmu Sejarah
Thursday, September 5, 2013
wawasanpendidikan.com - Sejarah bukanlah sesuatu yang asing bagi kita. Namun demikian, masih banyak orang yang belum mengetahui apa sebenarnya sejarah itu? Karenanya artikel ini berisi Pengertian Ruang Lingkup Ilmu Sejarah, selamat membaca.
Pengertian Sejarah
1.Pengertian sejarah ditinjau dari asal kata
Menurut Jan Romein, kata “sejarah” memiliki arti yang sama dengan kata “history” (Inggris), “geschichte” (Jerman) dan “geschiedenis” (Belanda), semuanya mengandung arti yang sama, yaitu cerita tentang kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Sementara menurut sejarawan William H. Frederick, kata sejarah diserap dari bahasa Arab, “syajaratun” yang berarti “pohon” atau “keturunan” atau “asal-usul” yang kemudian berkembang dalam bahasa Melayu “syajarah”. Dalam bahasa Indonesia menjadi “sejarah”. Menurutnya kata syajarah atau sejarah dimaksudkan sebagai gambaran silsilah atau keturunan.
Berdasarkan asal kata tersebut maka sejarah dapat diartikan sebagai sesuatu yang telah terjadi pada waktu lampau dalam kehidupan umat manusia. Sejarah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia dan bahkan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju atau modern.
2.Rumusan batasan pengertian sejarah
Ada banyak rumusan pendapat yang diberikan para sejarawan terkait dengan pengertian sejarah. Dari berbagai pendapat yang ada dalam arti yang luas sejarah dapat diartikan sebagai gambaran tentang peristiwa-peristiwa atau kejadian masa lampau yang dialami manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu tertentu, diberi tafsiran dan analisa kritis sehingga mudah dimengerti dan dipahami.
Ruang Lingkup Studi Sejarah
1. Sejarah sebagai peristiwa
Berarti suatu kejadian di masa lampau, atau sesuatu yang sudah terjadi, dan hanya sekali terjadi (einmalig), tidak bisa diulang. Peristiwa yang bersifat absolute dan objektif.
Peristiwa-peristiwa yang telah terjadi sejak masa lampau menjadi materi yang sangat penting dalam pembahasan ilmu sejarah. Melalui peristiwa-peristiwa itu, ilmu sejarah mendapat gambaran tentang kehidupan manusia dimasa lampau dan sebab akibatnya. Namun, setiap peristiwa atau kejadian-kejadian di dalam lingkup kehidupan manusia belum tentu akan tercatat dalam catatan sejarah. Para ahli sejarah tidak begitu saja mencatat rangkaian peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dimasa lampau itu, tetapi juga mencoba menelusuri awal mula dan sebab-sebab munculnya peristiwa itu. Dengan demikian mereka berusaha mengembangkan pembahasan peristiwa itu sampai kepada sektor kehidupan manusia yang mendorong terjadinya peristiwa itu.
2. Sejarah sebagai cerita
Berbicara tentang sejarah, biasanya akan segera menghubungkannya dengan cerita, yaitu cerita tentang pengalaman-pengalaman manusia di waktu yang lampau. Bahwasanya sejarah pada hakekatnya adalah sebuah cerita kiranya tidak bisa disangkal lagi. Ucapan teoritikus-teoritikus sejarah seperti Renier: “nothing but a story”; Trevelyan: “the historian’s first duty is to tell the story”; Huizinga: “the story of something that has happened”, semuanya mencerminkan gagasan bahwa sejarah itu hakekatnya adalah tidak lain sebagai suatu bentuk cerita.
Kendati begitu, hal yang perlu sekali disadari adalah kenyataan bahwa sebagai cerita, sejarah bukanlah sembarang cerita. Cerita sejarah tidaklah sama dengan dongeng ataupun novel. Ia adalah cerita yang didasarkan pada fakta-fakta dan disusun dengan metode yang khusus yang bermula dari pencarian dan penemuan jejak-jejak sejarah, mengujji jejak-jejak tersebut dengan metode kritik yang ketat (kritik sejarah) dan diteruskan dengan interpretasi fakta-fakta untuk akhirnya disusun dengan cara-cara tertentu pula menjadi sebuah cerita yang menarik tentang pengalaman masa lampau manusia itu.
3. Sejarah sebagai ilmu
Sejarah dapat digolongkan sebagai ilmu apabila ia memiliki syarat-syarat dari suatu ilmu pengetahuan atau syarat-syarat ilmiah. Syarat-syarat keilmuan yang dimaksud adalah:
- Ada objek masalahnya
- Memiliki metode
- Tersusun secara sistematis
- Menggunakan pemikiran yang rasional
- Memiliki kebenaran yang objektif
Karena sejarah memiliki kesemua syarat keilmuan tersebut, termasuk memiliki metode sendiri dalam memecahkan masalah, maka tidak ragu lagi akan unsur-unsur keilmuan dari sejarah. Pendapat ahli sejarah Bury bahwa “history is a science, no less and no more” kiranya memberikan penegasan akan hal itu. Meski demikian dalam kenyataannya banyak pihak yang masih menyangsikan keberadaan sejarah sebagai sebuah disiplin ilmu.
Dilihat dari cara kerja ilmiah, dua tahapan terakhir dalam metode sejarah yaitu interpretasi dan historiografi masih sering dianggap sebagai titik-titik lemah. Interpretasi misalnya, dimana di dalamnya terdapat unsur menyeleksi fakta sehingga sesuai dengan keseluruhan yang hendak disusun, terkadang unsur subjektivitas penulis atau sejarawan seperti kecenderungan pribadinya (personal bias), prasangka kelompoknya (group prejudice), teori-teori interpretasi historis yang saling bertentangan (conflicting theories of historical interpretation) dan pandangan hidupnya sangat mempengaruhi terhadap proses interpretasi tersebut.
Semuanya itu bisa membawa sejarawan pada sikap subjektif yang dalam bentuknya yang ekstrim menjurus pada sikap emosional, bahkan mungkin irasional yang kurang bisa dipertanggung jawabkan seperti kecenderungan mengorbankan fakta sejarah atau memanipulasikannya demi suatu teori, pandangan hidup yang dipercayai secara berlebihan atau keberpihakan pada penguasa. Memang sulit untuk menghindar dari subjektivitas, sehingga sejarawan sangat dituntut untuk melakukan penelitian sejarah yang seobjektif mungkin atau setidaknya sebagai suatu ideal. Pokoknya yang penting bagi sejarawan adalah seperti yang pernah dikemukakan G. J. Renier, “we must not cheat”.
4. Sejarah sebagai seni
Sejarawan tidak bisa sembarangan menghadirkan peristiwa sejarah sebagai kisah sejarah. Kisah sejarawan akan memiliki daya tarik tersendiri apabila sejarawan memiliki intuisi, imajinatif, emosi dan gaya bahasa yang baik. Intuisi diperlukan oleh sejarawan saat memilih topik hingga merangkai seluruh fakta menjadi sebuah kisah. Imajinatif sejarawan digunakan untuk menyususun fakta-fakta sejarah yang berhasil ditemukan agar menjadi utuh dan bulat sehingga mudah dipahami. Kontruksi atau gambaran sejarawan tentang sebuah peristiwa jelas tidak bisa sama persis dengan peristiwa yang sebenarnya sehingga sejarawan membutuhkan imajinatif untuk merangkai fakata-fakta sejarah yang sudah tersedia. Oleh Karena itu, sejarawan memiliki emosi untuk menyatukan perasaan dengan objeknya agar para pembaca seolah-olah terlibat langsung dengan suatu peristiwa sejarah. Akhirnya, seluruh pengisahan sejarah harus didukung dengan penggunaan gaya bahasa yang lugas dan hidup.
5. Beda sejarah dengan fiksi, ilmu sosial dan ilmu agama
1. Kaidah pertama: sejarah itu fakta
Perbedaan pokok antara sejarah dengan fiksi adalah bahwa sejarah itu menyuguhkan fakta, sedangkan fiksi menyuguhkan khayalan, imajinasi atau fantasi.
2. Kaidah kedua: sejarah itu diakronik, ideografis dan unik
- Sejarah itu diakronik (menekankan proses), sedangkan ilmu sosial itu sinkronik (menekankan struktur). Artinya sejarah itu memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu sosial meluas dalam ruang. Sejarah akan membicarakan satu peristiwa tertentu dengan tempat tertentu, dari waktu A sampai waktu B. Sejarah berupaya melihat segala sesuatu dari sudut rentang waktu. Contoh: Perkembangan Sarekat Islam di Solo, 1911-1920; Terjadinya Perang Diponegaro, 1925-1930; Revolusi Fisik di Indonesia, 1945-1949; Gerakan Zionisme 1897-1948 dan sebagainya
- Sejarah itu ideografis, artinya melukiskan, menggambarkan, memaparkan, atau menceritakan saja. Ilmu sosial itu nomotetis artinya berusaha mengemukakan hukum-hukum. Misalnya sama-sama menulis tentang revolusi, sejarah dianggap berhasil bila ia dapat melukiskan sebuah revolusi secara menditil hingga hal-hal yang kecil. Sebaliknya ilmu sosial akan menyelidiki revolusi-revolusi dan berusaha mencari hukum-hukum yang umum berlaku dalam semua revolusi
- Sejarah itu unik sedang ilmu sosial itu generik. Penelitian sejarah akan mencari hal-hal yang unik, khas, hanya berlaku pada sesuatu, di situ (di tempat itu dan waktu itu). Sejarah menulis hal-hal yang tunggal dan hanya sekali terjadi. Topik-topik sejarah misalnya Revolusi Indonesia, Revolusi di Surabaya, Revolusi di Pesantren “X”, Revolusi di Desa atau Kota “Y”. Revolusi Indonesia tidak terjadi di tempat lain dan hanya terjadi sekali pada waktu itu, tidak terulang lagi. Sedang topik-topik ilmu sosial misalnya Sosiologi Revolusi, Masyarakat Desa, Daerah Perkotaan yang hanya menerangkan hukum-hukum umum terjadinya proses tersebut.
3. Kaidah ketiga: sejarah itu empiris
Inilah antara lain yang membedakan antara sejarah dengan ilmu agama. Sejarah itu empiris, ia berdasarkan pengalaman manusia yang sebenarnya, sedang ilmu agama itu lebih bersifat normatif, mengikuti kaidah-kaidah hukum yang sudah ada, yang tercantum dalam Kitab Suci masing-masing agama, yang dipercaya sebagai yang diwahyukan oleh Tuhan.