Membangun Disiplin Dalam Mendidik
Saturday, September 21, 2013
wawasanpendidikan.com; di dunia pendidikan tatkala anak berbuat salah, tidak jarang guru atau orang tua menjadi gemas, lalu menghukum secara fisik untuk mendisiplinkannya. Masihkah efektif cara mendidik anak seperti ini? ataukah ada cara lain yang lebih baik lagi? untuk lebih jelasnya sobat pendidikan kali ini memuat artikel Membangun Disiplin Dalam Mendidik. Berikut ulasannya.
A. Hukuman Fisik Sudah Tidak Populer
Pada era 1960 atau 1970an, boleh jadi model hukuman fisik seperti itu terjadi. Guru cenderung memperlakukan hukuman seperti memukul tangan murid menggunakan penggaris kayu atau orang tua yang berusaha mendidik anak di rumah menggunakan sabetan sapu lidi karena malas mengerjakan PR. Cara-cara kekerasaan seperti itu, pada zaman sekarang sesekali masih muncul dan oknum guru yang melakukannya berdalih menerapkan disiplin kepada siswa. Anak akan jera melakukan kesalahan yang sama, dan lebih mudah dikendalikan.
Kini mayoritas sekolah tidak lagi menggunakan hukuman sebagai balasan atas perbuatan murid yang dianggap tidak baik. Sebagian pendidik menyebut tindakannya sebagai konsekuensi. Setiap sekolah pasti memiliki program kedisiplinan dan konsekuensi belajar. Dari situ dibuat aturan-aturan yang diterapkan di kelas. Salah satunya diantaranya, anak diwajibkan duduk rapi ketika guru menjelaskan atau datang ke sekolah tidak boleh terlambat, kecuali dengan alasan yang masuk akal.
Anak bisa saja belajar dari kesalahan dan mengubah prilakunya tanpa hukuman. Justru semakin meningkatkan hukuman, tidak akan mengajarkan anak mengenai sesuatu yang membangun kesadaran untuk berdisiplin. Disisi lain kata disiplin sesuai dengan artinya dalam bahasa latin adalah memberikan anak pengertian dalam hidup. Menjalankan disiplin, memiliki kelebihan dibandingkan dengan sekedar menghukum. Disiplin akan menuntun anak yang berbuat salah, memahami kesalahannya, dan memberikan anak jalan untuk penyelesaian.
Dalam hal itu, yang paling penting adalah disiplin akan menjaga harga diri anak. Berbeda dengan hukuman yang akan menjatuhkannya.
B. Kesalahan itu Hal yang Wajar
Kesalahan adalah suatu hal yang wajar dalam kehidupan, dalam bidang apapun, baik kata-kata, tindak-tanduk, pekerjaan, etika bermasyarakat maupun bidang lainnya; termasuk juga dalam mendidik anak. Akan tetapi, kesalahan itu dapat ditoleransi pada hal-hal yang sudah terjadi, sedangkan yang belum terjadi sepantasnya kita tidak pernah mengulang lagi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Karena itu, orang tua atau guru diingatkan agar menghindari cara-cara kekerasan jika sang anak/murid melakukan kesalahan. Semua orang bisa khilaf dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertobat, tetapi hal itu berlaku jika sudah terjadi.
C. Keikhlasan, Kejujuran, dan Kedisiplinan sang Guru
Mendidik bukan semata pekerjaan otak, melainkan lebih pada hati. Dorongan hati yang ikhlas dalam mendidik akan bertunas generasi penerus berintelektual unggul dan berkepribadian matang. Inilah prinsip yang baik sang guru. Ia berusaha membangun kesadaran, semua yang terjadi dan bakal terjadi bermula dari diri sendiri. Jika ingin anak didik baik, tentu guru harus berbuat baik. Jika mendambakan anak didik cerdas, tentu gurunya harus cerdas.
D. Kenalilah Temperamen Siswa
Umumnya ada empat tipe karakter siswa yaitu,
E. Guru Sebagai Model Teladan Bagi Siswa
Ada yang mengatakn guru bagai garam dapur yang terdapatdalam masakan. Orang akan mengomel jika ia kurang dan begitu pula kalau ia berlebih.Orang akan berkomentar kecewa. Seakan-akan benda yang satu ini dituntut untuk memenuhi tuntutan rasa dan kemauan orang yang beragam itu dengan takarannya yang sesuai.
Agaknya pekerjaan mengajar itu tidak semudah menuangkan air kedalam gelas sebab dalam mengajar ini guru dihadapkan dengan sosok siswa yang memiliki sifat, sikap dan latar belakang yang berbeda. Oleh sebab itu, guru dengan profesinya yang khas itu memerlukan keterampilan, kemampuan, dan motivasi serta kesadaran akan kewajiban dari profesi yang diembannya.
A. Hukuman Fisik Sudah Tidak Populer
Pada era 1960 atau 1970an, boleh jadi model hukuman fisik seperti itu terjadi. Guru cenderung memperlakukan hukuman seperti memukul tangan murid menggunakan penggaris kayu atau orang tua yang berusaha mendidik anak di rumah menggunakan sabetan sapu lidi karena malas mengerjakan PR. Cara-cara kekerasaan seperti itu, pada zaman sekarang sesekali masih muncul dan oknum guru yang melakukannya berdalih menerapkan disiplin kepada siswa. Anak akan jera melakukan kesalahan yang sama, dan lebih mudah dikendalikan.
Kini mayoritas sekolah tidak lagi menggunakan hukuman sebagai balasan atas perbuatan murid yang dianggap tidak baik. Sebagian pendidik menyebut tindakannya sebagai konsekuensi. Setiap sekolah pasti memiliki program kedisiplinan dan konsekuensi belajar. Dari situ dibuat aturan-aturan yang diterapkan di kelas. Salah satunya diantaranya, anak diwajibkan duduk rapi ketika guru menjelaskan atau datang ke sekolah tidak boleh terlambat, kecuali dengan alasan yang masuk akal.
Anak bisa saja belajar dari kesalahan dan mengubah prilakunya tanpa hukuman. Justru semakin meningkatkan hukuman, tidak akan mengajarkan anak mengenai sesuatu yang membangun kesadaran untuk berdisiplin. Disisi lain kata disiplin sesuai dengan artinya dalam bahasa latin adalah memberikan anak pengertian dalam hidup. Menjalankan disiplin, memiliki kelebihan dibandingkan dengan sekedar menghukum. Disiplin akan menuntun anak yang berbuat salah, memahami kesalahannya, dan memberikan anak jalan untuk penyelesaian.
Dalam hal itu, yang paling penting adalah disiplin akan menjaga harga diri anak. Berbeda dengan hukuman yang akan menjatuhkannya.
B. Kesalahan itu Hal yang Wajar
Kesalahan adalah suatu hal yang wajar dalam kehidupan, dalam bidang apapun, baik kata-kata, tindak-tanduk, pekerjaan, etika bermasyarakat maupun bidang lainnya; termasuk juga dalam mendidik anak. Akan tetapi, kesalahan itu dapat ditoleransi pada hal-hal yang sudah terjadi, sedangkan yang belum terjadi sepantasnya kita tidak pernah mengulang lagi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Karena itu, orang tua atau guru diingatkan agar menghindari cara-cara kekerasan jika sang anak/murid melakukan kesalahan. Semua orang bisa khilaf dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah yang bertobat, tetapi hal itu berlaku jika sudah terjadi.
C. Keikhlasan, Kejujuran, dan Kedisiplinan sang Guru
Mendidik bukan semata pekerjaan otak, melainkan lebih pada hati. Dorongan hati yang ikhlas dalam mendidik akan bertunas generasi penerus berintelektual unggul dan berkepribadian matang. Inilah prinsip yang baik sang guru. Ia berusaha membangun kesadaran, semua yang terjadi dan bakal terjadi bermula dari diri sendiri. Jika ingin anak didik baik, tentu guru harus berbuat baik. Jika mendambakan anak didik cerdas, tentu gurunya harus cerdas.
D. Kenalilah Temperamen Siswa
Umumnya ada empat tipe karakter siswa yaitu,
- Sanguin, selalu periang dan penuh pengharapan, menganggap segala sesuatu yang dihadapi adalah hal-hal yang penting tapi cepat melupakannya. Ia ingin menepati janji-janjinya tapi selalu gagal memenuhi keinginannya itu sebab ia tidak cukup berminat untuk menolong orang lain. Ia adalah seorang yang amat luwes, pandai bergaul dan periang.
- Melankolik, Menganggap sesuatu amat penting dan selalu menemukan alasan untuk kawatir. Hal pertama yang mereka perhatikan tentang suatu keadaan adalah kesulitan-kesulitannya. Ini dilakukan tidak atas pertimbangan keakhlakan, tetapi karena pergaulan dengan orang yang membuat ia kawatir. Justru inilah yang menyebabkan rasa bahagia menjauhinya.
- Kolerik, berkepala panas dan mudah sekali dibangunkan semangatnya. Akan tetapi, mudah pula menjadi tenang jika lawan yang dihadapinya mengaku kalah. Ia orang yang sibuk, tapi tida menyukai berada ditengah-tengah kesibukan karena tidak tabah. Ia menyukai jika dipuji di depan umum, berpenampilan kemegahan dan formalitas. Penuh kebanggaan dan cinta pada diri sendiri. Sopan, kikir, dan sakit hati luar biasa jika orang lain menolak ikut dalam kepura-uraannya.
- Flematik, Tidak memiliki gairah, tidak mudah kena pengaruh orang lain. Orang seperti ini lambat menjadi hangat, tapi dapat bertahan hangat lebih lama. Ia bertindak atas keyakinan, bukan naluri. Ia bertindak layak, mudah bergaul, dan biasanya dapat maju sebab kegigihannya dalam mencapai sasaran-sasaran yang dikehendakinya, sesangkan ia seakan-akan memberi jalan kepada orang lain.
E. Guru Sebagai Model Teladan Bagi Siswa
Ada yang mengatakn guru bagai garam dapur yang terdapatdalam masakan. Orang akan mengomel jika ia kurang dan begitu pula kalau ia berlebih.Orang akan berkomentar kecewa. Seakan-akan benda yang satu ini dituntut untuk memenuhi tuntutan rasa dan kemauan orang yang beragam itu dengan takarannya yang sesuai.
Agaknya pekerjaan mengajar itu tidak semudah menuangkan air kedalam gelas sebab dalam mengajar ini guru dihadapkan dengan sosok siswa yang memiliki sifat, sikap dan latar belakang yang berbeda. Oleh sebab itu, guru dengan profesinya yang khas itu memerlukan keterampilan, kemampuan, dan motivasi serta kesadaran akan kewajiban dari profesi yang diembannya.